Perpustakaan Tak Sekadar Tempat Membaca Buku
By Abdi Satria
nusakini.com-Semarang – Siapa bilang perpustakaan hanya tempat untuk membaca buku? Perpustakaan juga bisa menjadi tempat belajar ketrampilan khusus yang bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Transformasi perpustakaan menjadi penyedia layanan pustaka berbasis inklusisosial ini menjadi materi utama yang dibahas oleh Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Widiyanto, saat menjadi pembicara dalam acara Bimbingan Teknis Strategi Pengembangan Perpustakaan dan TIK untuk Layanan Perpustakaan, Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial, di Hotel Star Semarang, belum lama ini. Dia menunjuk contoh, ketrampilan memijat atau beternak lele yang dapat diakses di perpustakaan.
“Inilah perpustakaan gaya baru, yakni perpustakaan berbasis inklusi sosial yang diterapkan di berbagai level perpustakaan, termasuk perpustakaan desa,” ujar Widiyanto.
Ditambahkan, setiap pengelola perpustakaan, termasuk perpustakaan desa, diharapkan dapat mengubah pola layanannya menjadi pusat kegiatan masyarakat. Para pengelola perlu belajar tentang cara pelayanannya melalui strategi pengembangan perpustakaan atau SPP, yaitu teknologi informasi dan komunikasi, pelibatan masyarakat, dan advokasi.
“Maka diharapkan perpustakaan desa dapat menjadi pusat berkegiatan bagi masyarakat desa sesuai dengan kebutuhannya guna meningkatkan kesejahteraannya,” beber Widiyanto.
Ditambahkan, program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial ini merupakan wujud upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka penguatan literasi masyarakat untuk kesejahteraannya. Tujuannya untuk mendukung terlaksananya program prioritas pemerataan layanan pendidikan berkualitas, yang menjadi bagian dari prioritas nasional pertama dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2019, yakni Pembangunan Manusia melalui Pengurangan Kemiskinan dan Peningkatan Pelayanan Dasar.
Kepala Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah, Prijo Anggoro BR mengamini penguatan literasi untuk kesejahteraan masyarakat melalui transformasi layanan perpustakaan. Menurutnya, perpustakaan desa harus dapat memfasilitasi kebutuhan masyarakat desa, sehingga masyarakat desa dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
“Perpustakaan desa punya peran untuk membantu dalam pengentasan kemiskinan dengan bertransformasi, menjadikan perpustakaan sebagai pusat berkegiatan bagi masyarakat. Pengelola perpustakaan harus bersinergi dengan stakeholder terkait untuk melatih pemustaka dengan ketrampilan yang dibutuhkan,” imbuh Prijo.
Penguatan literasi masyarakat melalui peningkatan peran perpustakaan ini juga menjawab tantangan baru yakni kondisi functionally illiterate (buta huruf fungsional) yang dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Menurut Prijo, buta huruf fungsional adalah kurangnya kemampuan membaca dan menulis melebihi tingkatan dasar yang dapat diterapkan untuk mengelola kehidupan sehari-hari. Mereka yang berada pada kondisi ini cenderung berakhir di sektor-sektor pekerjaan dengan produktivitas rendah.
Sebagai informasi, berdasarkan dokumen Perkembangan Triwulanan Perekonomian Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Dunia, pada Juli 2018 lalu, sebanyak 55 % penduduk Indonesia mengalami buta huruf fungsional. Artinya, lebih dari separuh penduduk Indonesia memiliki kemampuan membaca yang masih terbatas, yakni mampu membaca dan menulis namun kesulitan memahami apa yang dibacanya. Hal ini berdampak pada kemampuan mereka untuk bekerja di sektor-sektor dengan produktivitas tinggi. Kondisi inilah yang menjadi tantangan bagi pemerintah untuk diatasi melalui transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial.
Kegiatan bimtek yang diselenggarakan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah ini bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional RI selama lima hari sampai 3 Mei 2019. Kegiatan ini diikuti 52 orang peserta dari para pengelola perpustakaan desa di Kabupaten Brebes, Kendal, dan Magelang, serta dari Dinas Arpus Jawa Tengah. (p/ab)